Labels

Kamis, 06 Desember 2012

Dia Terindah Bagiku, Sebuah refleksi realita cinta

Aku ingat ketika itu jam dinding berdentang 10 kali. Suatu pagi yang panas menyengat tak mampu goyahkan niatku untuk melakukan apa yang tertulis dalam pesan di ponselku. 
" Aku selesei registrasi pukul 10.15, temui aku di depan masjid Jami'." 
Sungguh singkat pesan itu, tapi begitu membuat aku merasa senang dan melayang jauh keatas awang-awang. 
Hari itu adalah janji kencan aku yang pertama dengan seorang gadis yang sudah lama aku kagumi. Alhamdulillah, akhirnya hari ini tiba juga. 



Tanpa pikir panjang lagi, aku segera bangkit dari ruang TV dan bergegas ganti baju. Lama aku memilih baju yang pas buat hari spesial itu. Dan akhirnya aku mantap memakai jeans kelabu, kaos streaky hitam-putih dan jaket Army warna hijau brownies. Aku pakai parfum favoritku agak banyak hingga membuat ibuku komentar. 
Sebelum aku ambil motor, sempat kulirik jam tangan Swiss Army-ku, pukul 10.10. Wah, aku hampir telat. 

Aku laju motor Yamaha-ku secepat mungkin. Yang ada di pikiran aku jangan sampai membuat dia menunggu. Dalam perjalanan sempat teringat bagaimana aku bertemu dia 

pertama kali. Lucu memang, aku mengaguminya saat dia pertama kali kursus 

Bahasa Inggris di tempatku. Dibilang gak etis aku juga gak bersalah, toh aku juga tetep professional saat mengajar kelasnya. Aku gak mencampuradukkan perasaan dengan tugas aku. Aku tetap menjunjung tinggi kode etik instruktur. Paling-paling aku cuma bisa memandangnya saat ia sibuk mencatat penjelasan atau mengerjakan tugas dari aku.
Aku memang gak ngerti sejak kapan perasaan itu muncul, yang jelas saat pertama kali dia menginjakkan kaki di kelasku, aku langsung terpesona. Bukan dari kecantikan wajahnya atau bentuk tubuhnya, tapi dari keanggunan sikap yang dia tunjukkan kepadaku. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang bergetar saat menatap matanya. Sepasang mata yang bening, polos dan begitu indah. Ada sesuatu yang menarikku agar menjelajahi lebih dalam lagi. Dia benar-benar membuatku merasakan hal yang telah lama mati 

dalam hidupku. Dia gak begitu cantik tapi pintar, tubuhnya juga gak seksi tapi dia pandai memakai pakaian yang pantas dengan postur tubuhnya sehingga nampak anggun. Usianya waktu itu masih 17 tahun, masih duduk di bangku kelas 2 SMU semester akhir. 

Suara klakson bus tiba-tiba menghapus lamunanku, hampir saja aku terjatuh dibuatnya. Aku sudah melewati terminal bus, artinya 1 menit lagi aku 

sampai di masjid Jami'. Aku sampai di depannya tepat pukul 10.20, terlambat 5 menit persis saat ponselku berbunyi. Aku lihat ada pesan masuk dari dia, 
"Mas udah nyampek ta? aku disebelah kiri masjid." 
Aku berhenti tepat di depan masjid dan kucari-cari dimana dia menunggu aku, hingga akhirnya ........ Subhanallah, ia begitu anggun memakai gaun muslim panjang 

berwarna putih motif kotak-kotak, dengan kerudung hitam yang serasi dengan celana jeans pencilnya. Sempat bengong juga aku melihatnya, hingga kulambaikan 

tangan ke dia. Loh, dia kok seakan cuek dengan lambaian tanganku, masih tetap berdiri dan melihat krir-kanan. Ya ampun. aku lupa belum melepas helm, pantas saja di tidak 

mengenali aku. Saat kulepas helm, barulah dia mengerti dan menghampiri aku di seberang jalan dari tempat dia menunggu aku. Dengan senyum malu-malu, khas yang dimiliki ia berkata, 
"Udah tadi ta disini?" 
"Gak kok, baru aja aku nyampek, maaf ya telat?" 
"Heem gak apa-apa, Mas pastine juga sibuk." 
"Udah selesei registrasinya?" 
"Udah Mas, tinggal isi formulir aja trus ambil jadwal registrasi ulang serta ambil modul-modul buat semester I." 
"Oh gitu toh, sekarang kita kemana?" 
"Terserah Mas aja, yang jelas jo dipinggir jalan kayak gini,he" 
"Heem, ayo naik?". 

Dengan perasaan yang gak bisa aku bayangkan, aku laju motorku pelan-pelan menuju "Depot Mungil", sebuah restoran serba ada yang cukup bergengsi di daerahku. Aku pikir ini 

adalah tempat yang pas buat mencurahkan perasaan yang telah lama aku pendam kepadanya. 
"Di sini aja ya?, tempate nyaman" aku tanya pendapatnya untuk menghormati perasaan dia. 
"Heem, terserah Mas aja." 

Aku minta dia pesan makanan dulu, tapi sekali lagi dia bilang, 
"Terserah Mas aja, tapi aku gak lapar, minum aja ya? gak apa-apa kan?" 

Aku mengangguk tanda menyetujuinya, dan segera bilang ke pelayan, 
"Mbak jus alpokat 2 ya?" 

Aku ajak dia cari tempat duduk dilantai 2, karena lantai 2 biasanya sepi. So, aku bebas mengungkapkan perasaanku didepannya tanpa ada rasa malu dan takut orang lain 

mendengar percakapan kami. Menit-menit awal, sambil menunggu pesanan datang, kami mengobrol masalah registrasinya ke Universitas Terbuka Negeri. 
Dia memang tidak langsung kuliah begitu lulus dari SMU, dia berusaha mandiri dulu dan tidak hanya mengandalkan orang tuanya. Lagi-lagi sikapnya ini membuat aku semakin kagum dan merasa cocok dengannya. Selama setahun itu dia bekerja sebagai buruh pabrik, suatu pekerjaan yang amat berat bagi perempuan dengan posttur tubuh yang lemah gemulai serta masih belia. tapi dia tetap tegar melakukan semua itu demi masa depannya sendiri dan keluarganya. Dalam waktu yang bersamaan, dia juga menjadi guru bantu di sebuah SMP swasta d daerahku serta membuka bimbingan belajar di rumahnya. Subhanallah, tidak bisa dibayangkan bagaimana dia mengatur waktu untuk mengerjakan semua itu, tiga aktifitas dalam waktu yang sama. Really great girl. Di jaman sekarang gak ada gadis yang seperti dia. Rela bekerja keras demi meraih cita-cita yang diinginkan. 
"Mas, kok ngelamun sih?" 
Sontak kata-kata itu membangunkan aku dari alam khayal yang gak terasa aku masuki saat di bercerita tentang tempat kuliahnya. 
"Eh, maaf mbak" 
Aku merespon pertanyaannya dengan pipi merah karena malu. 
"Loh. kok masih panggil mbak sih?, aku kan dulu muride Mas". 
"Oh, iya. Trus panggil pa dunk?" 
"Terserah Mas aja, enake panggil apa, asal jangan panggil aku mbak." 
"Mmmm...Icha ya? tu nama belakang kamu kan?" 
"Heem, teman-teman SMAku juga panggil itu" 

Lama juga kami becanda tentang nama panggilan, hingga aku berhenti sejenak dan menatapnya dalam-dalam. 
Aku melihat dia jadi salah tingkah dan menunduk malu. Inilah saat yang tepat menurutku untuk mencurahkan semua yang aku rasakan selama ini. 
"Cha?" 
"Iya Mas, ada apa?" 
"Kamu udah punya pacar belum?" 

Aku masih menatap matanya, aku ingin tahu dia berkata jujur atau gak. Dengan agak malu ia berkata, 
"Gak punya Mas. Mang kenapa?" 
"Masak sih gak punya? waktu SMA dulu mungkin." 
"Gak punya Mas. Aku gak pernah pacaran dari dulu, aku cuma konsentrasi belajar aja. Demi Allah Mas." 

What??? dia menjawab pertanyaanku pakai sumpah segala, itu artinya dia ingin aku bener-bener percaya kalo dia memang belum pernah pacaran. Segera aku genggam tangannya diatas meja. Aku rasakan sebuah tangan yang mungil dan berkeringat serta agak bergetar karena malu atau takut, tapi anehnya tidak mau menarik atau 

melepasnya dari tanganku. Aku semakain yakin kalau dia juga punya perasaan kepadaku. Aku genggam semakin erat hingga ia menatapku juga. Segera aku berkata: 
"Kamu mungkin udah tahu apa yang aku rasakan saat ini. Kita udah lama saling mengenal, sering kirim sms bahkan telepon. Kita juga saling mengagumi dan saling memberi motivasi. Kini perasaan kagum itu udah berubah. Bukan lagi kekaguman tapi lebih dari itu. Perasaan yang membuat aku selalu ingin dekat dan berinteraksi dengan kamu.perasaan yang membuatku marah dan sedih saat kamu gak kirim sms, perasaan senang saat aku memikirkanmu." 

Aku berhenti sejenak sekedar untuk melihat ekspresi yang ia keluarkan untuk merespon kata-kataku tadi. Dia masih menatapku dengan lembut dan sedikit menunduk. Aku meliha kedua pipinya memerah mengapit sebuah senyum yang teramat indah bagiku. 
"Aku mengerti mungkin kamu gak suka aku bilang ini, tapi jujur aku katakan kalau semua ini benar. Kamu yang bisa mengembalikan persaan ini dihatiku. Perasaan yang sudah 

lama aku kubur dalam-dalam perlahan mulai bangkit saat kamu hadir dimataku. Perasaan yang telah membuat hatiku beku dan sepi serta berlubang tanpa ada yang bisa menutupinya. Aku benar-benar telah merasakan itu. Seseorang yang menjadi inspirasiku telah hadir. Seseorang yang memberi sinar serta menutup semua lubang-lubang dihatiku. Seseorang yang bisa membuatku merasa mencintai. Seseorang itu adalah kamu. I hope you are the woman in my life." 

Aku merasakan tangan yang aku genggam semakin gemetar. 
"Maaf? aku gak maksa kamu jawab sekarang, Cha." 

Dengan suara yang lirih dan senyuman lembut juga masih malu-malu ia berkata: 
"Aku udah lama menunggu semua kata-kata itu langsung dari kamu Mas" 
"Bener? kamu gak perlu waktu buat memikirkan kata-kata aku tadi?" 
"Gak Mas, waktu yang kita pakai smsan selama ini dah cukup buat aku mengerti kalau aku juga mengharapkan Mas. Bukankah kita udah lama saling mengenal?. Meskipun gak pernah ketemu lagi sejak aku gak kursus, tapi kita masih komunikasi lewat ponsel." 
"Heem. aku ngerti, kita udah lama merasakan semua ini, tapi aku masih ragu apakah perasaanku ini bersambut. Ternyata Alhamdulillah semoga ini menjadi pertanda kalau kita berjodoh." 
"iya Mas, aku juga merasakan hal yang sama, perasaan yang gak pernah aku rasakan sebelumnya." 

Ketika itu pula ia balik menggenggam tanganku seraya berkata: 
"Kamu yang pertama Mas. Dan aku berharap banget juga jadi yang terakhir. Meskipun aku tahu kalau aku bukan yang pertama buat Mas." 
"Aku janji Honey, kamulah yang terakhir bagi aku, amien." 
"Amien." 

Dan kami pun meninggalkan restoran itu dengan perasaan yang gak akan pernah terlukiskan. Aku antarkan dia sampai di depan gang rumahnya, karena dia juga minta begitu. Takut jadi fitnah katanya. 

Kini kami telah menikah dan resmi menjadi suami istri yang sah. Dan kami telah mengarungi  bahtera cinta kami dengan bahagia, semoga Allah selalu meridhoi dan merahmati cinta kami. Amien

Cerita ini ditulis sesuai dengan kenyataan yang ada dan tanpa rekayasa atau dibuat-buat. Tetapi cerita ini merupakan benar-benar pengalaman yang dialami oleh penulis.Semoga menjadi inspirasi bagi Sobat sekalian untuk berjuang meraih cinta suci...
(Rey Arifianto)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

About